Sabtu, 03 Desember 2011
Studi Masyarakat Indonesia
Analisis konflik aceh, peran badan reintegrasi damai aceh (BRDA) dalam proses disarmament, demobilitation, dan reintegration (DDR) di Aceh pasca perjanjian Helsinki 2005
Pengantar
Dasar Teori Konflik dan Integrasi
Konflik merupakan sesuatu fenomena wajar dan alamiah yang terjadi pada masyarakat manapun, dimanapun dan kapanpun. Ia hadir di tenagh-tengah masyarakat baik masyarakat yang bertipe tradisional maupun masyarakat yang bercorak modern (industri).
Coser mendefinisikan konflik sebagai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuasaan, pengumpulan sumber materi atau kekayaan yang langka, dimana pihak-pihak yamg berkonflik tidak hanya ditandai oleh perselisihan tetapi juga berusaha untuk memojokan, merugikan, atau kalau perlu menghancurkan pihak lawan (Syamsu, dkk,1991:57).
Masyarakat yang berkenbang pasti penah mengalami konflik
Putman dan Pook sebagaimana dikutip Sujak (1990: 150) mengartikan konflik sebagai interaksi antar individu, kelompok atau organisasi yang membuat atau arti yang berlawanan dan merasa bahwa orang lain sebagai penggangu terhadap pencapaian tujuan mereka.
Menurut Watkins, konflik terjadi bila terdapat dua hal,(1) sekurang –kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis operasional dapat saling menghambat, (2) ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh pihak namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Integrasi sosial diperlukan baik untuk masyarakat mikro masyarakat meso dan masyarakat makro. Masyarakat Indonesia yang berlatar belakang majemuk dalam hal agama, adat istiadat, bahasa, suku bangsa dan kebudayaan dapat dipersatukam karena digunakan ideology pancasial sebagai sistem nilai bersama masyarakat, merupakan contoh integrasi sosial dalam masyarakat makro
Jika disederhanakan sistem sosial akan berfungsi dengan baik atau dapat dijamin eksistensinya, maka sistem harus memenuhi empat syarat yaitu : (1) adaptasi, (2) kemungkinan mencapai tujuan, (3) integrasi anggota-anggotanya, dan (4) kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncanagan dan ketegangan yang timbul dari dalam (Veeger, 1993:207)
Talcott Parson, sebagaimana dikutp dalam Garna (1996:57) memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang harus memenuhi empat syarat atau azaz agar sistem tersebut berfungsi, yaitu (1) Penyesuaian masyarakat dengan lingkungan, (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu,(3) penentuan anggota masyarakat agar mereka dapat memainkan peran dan memenuhi nilai-nilai serta menyelesaikan konflik, (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.
Masyarakat modern disatukan oleh solidaritas organik (Veeger, 1993:147)
Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat sebagai sebuah fenomena moral atau normatif, dimana para individu diatur tingkah lakunya melalui sebuah sistem yang dipaksakan atau sistem eksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan kepadanya.
Teori-teori di atas memberikan pemahaman bahwa masyarakat akan dapat berkembang jika dipenuhi prasyarat-prasyarat fungsional.
Inti dari permasalahan “Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005
Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Smona, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6, Helsinki, Firlandia, merupakan perubahan besar sepanjang sejarah konflik di Aceh. Masing-masing pihak melunak pasca tsunami, dan proses perjanjian damai dipilih tanggal 15 Agustus, dua hari menjelang tanggal 17 Agustus, inilah yang dinamakan gold period atau “momentum emas “. Untuk menyelesaikan konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pemerintah RI sejak pemerintahan Presiden Suharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati, dan dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerapkan berbagai langkah atau kebijakan yang komprehensif atau terpadu dan berkesinambungan yang diarahkan pada penyelesaiaan masalah secara optimal sesuai dengan dinamika perkembangan dalam kurun waktu yang berjalan.
Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) sebagai salah satu aktor kunci harus mampu membuat langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah yang terjadi di Aceh. Peran BRDA meliputi beberapa tahapan yaitu Disarmament, Demoblitation dan Reintegration yang disebut DDR. Harus dipahami bahwa penanganan Aceh pascakonflik jauh lebih penting dan memakan waktu lebih lama dibandingkan proses rehabilitasi dan rekpnstruksi Aceh pasca bencana gempa dan harus memiliki tsunami.
Program-program reintegrasi yang dirancangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata relative kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hokum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. Pertama, BRDA (bersama pemerintahan baru Aceh ) mendorong pemerintah pusat untuk mengubah paying hokum pembentukan BRDA itu sendiri. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perubahan paying hokum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk memiliki hak untuk mengelola anggaran tersendiri. Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai stakeholder, termasuk lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembanginan Aceh.
Konflik dan integrasi menurut pandangan dari Teori Konflik Ralf Dahrendorf
A. Masyarakat memiliki potensi konflik dan disintegrasi
B. Wewenang dan posisi sebagai fakta sosial distribusi, wewenang dan posisi individu dalam masyarakat, konflik sosial kekuasaan dan wewenang.,perbedaan individu
C. Keteraturan dalam masyarakat terjadi karena adanya paksaan
D. Masyarakat dipaksa menerima perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya
E. Menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan” Dangan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain
F. Setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan
G. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial
Analisis Konflik Aceh dengan Teori konflik
Masyarakat Indonesia yang multikultural dari sabang samapai merauke, dengan berbagai keanekaragamaan dari ras, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat. Dipersatukan dengan bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari konflik dan integrasi. Konflik ini terjadi di Aceh, adanya GAM yang terjadi di aceh. Menimbulkan banyak masalah yang berdampak pada masyarakat Aceh tetapi juga bagi negara. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah di Aceh telah di lakukan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk BRDA yang berperan dalam Disarmament, Demobilitation dan Reintegration. Tetapi usaha ini juga kurang berhasil. Dalam Menyelesaikan konflik harus ada kerjasama antara pemerintah pusat serta dan warga Aceh. Setiap masyarakat tidak menginginkan adanya konflik. Tetapi apa yang diharapkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Konflik tidak cepat selesai melainkan memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat Aceh sendiri. Semoga ini adalah konflik di Aceh yang terakhir dan tidak akan terjadi konflik-konflik berikutnya. Yang menimbulkan banyak korban.
Pengantar
Dasar Teori Konflik dan Integrasi
Konflik merupakan sesuatu fenomena wajar dan alamiah yang terjadi pada masyarakat manapun, dimanapun dan kapanpun. Ia hadir di tenagh-tengah masyarakat baik masyarakat yang bertipe tradisional maupun masyarakat yang bercorak modern (industri).
Coser mendefinisikan konflik sebagai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status kekuasaan, pengumpulan sumber materi atau kekayaan yang langka, dimana pihak-pihak yamg berkonflik tidak hanya ditandai oleh perselisihan tetapi juga berusaha untuk memojokan, merugikan, atau kalau perlu menghancurkan pihak lawan (Syamsu, dkk,1991:57).
Masyarakat yang berkenbang pasti penah mengalami konflik
Putman dan Pook sebagaimana dikutip Sujak (1990: 150) mengartikan konflik sebagai interaksi antar individu, kelompok atau organisasi yang membuat atau arti yang berlawanan dan merasa bahwa orang lain sebagai penggangu terhadap pencapaian tujuan mereka.
Menurut Watkins, konflik terjadi bila terdapat dua hal,(1) sekurang –kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis operasional dapat saling menghambat, (2) ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh pihak namun hanya salah satu pihak yang mungkin akan mencapainya.
Integrasi sosial diperlukan baik untuk masyarakat mikro masyarakat meso dan masyarakat makro. Masyarakat Indonesia yang berlatar belakang majemuk dalam hal agama, adat istiadat, bahasa, suku bangsa dan kebudayaan dapat dipersatukam karena digunakan ideology pancasial sebagai sistem nilai bersama masyarakat, merupakan contoh integrasi sosial dalam masyarakat makro
Jika disederhanakan sistem sosial akan berfungsi dengan baik atau dapat dijamin eksistensinya, maka sistem harus memenuhi empat syarat yaitu : (1) adaptasi, (2) kemungkinan mencapai tujuan, (3) integrasi anggota-anggotanya, dan (4) kemampuan mempertahankan identitasnya terhadap kegoncanagan dan ketegangan yang timbul dari dalam (Veeger, 1993:207)
Talcott Parson, sebagaimana dikutp dalam Garna (1996:57) memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang harus memenuhi empat syarat atau azaz agar sistem tersebut berfungsi, yaitu (1) Penyesuaian masyarakat dengan lingkungan, (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu,(3) penentuan anggota masyarakat agar mereka dapat memainkan peran dan memenuhi nilai-nilai serta menyelesaikan konflik, (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.
Masyarakat modern disatukan oleh solidaritas organik (Veeger, 1993:147)
Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat sebagai sebuah fenomena moral atau normatif, dimana para individu diatur tingkah lakunya melalui sebuah sistem yang dipaksakan atau sistem eksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan kepadanya.
Teori-teori di atas memberikan pemahaman bahwa masyarakat akan dapat berkembang jika dipenuhi prasyarat-prasyarat fungsional.
Inti dari permasalahan “Peran Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) dalam proses Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration (DDR) di aceh Pasca Perjanjian Helsinki 2005
Perjanjian damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Smona, The Government Banquet Hall, Etalaesplanadi 6, Helsinki, Firlandia, merupakan perubahan besar sepanjang sejarah konflik di Aceh. Masing-masing pihak melunak pasca tsunami, dan proses perjanjian damai dipilih tanggal 15 Agustus, dua hari menjelang tanggal 17 Agustus, inilah yang dinamakan gold period atau “momentum emas “. Untuk menyelesaikan konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pemerintah RI sejak pemerintahan Presiden Suharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati, dan dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerapkan berbagai langkah atau kebijakan yang komprehensif atau terpadu dan berkesinambungan yang diarahkan pada penyelesaiaan masalah secara optimal sesuai dengan dinamika perkembangan dalam kurun waktu yang berjalan.
Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA) sebagai salah satu aktor kunci harus mampu membuat langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah yang terjadi di Aceh. Peran BRDA meliputi beberapa tahapan yaitu Disarmament, Demoblitation dan Reintegration yang disebut DDR. Harus dipahami bahwa penanganan Aceh pascakonflik jauh lebih penting dan memakan waktu lebih lama dibandingkan proses rehabilitasi dan rekpnstruksi Aceh pasca bencana gempa dan harus memiliki tsunami.
Program-program reintegrasi yang dirancangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata relative kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hokum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. Pertama, BRDA (bersama pemerintahan baru Aceh ) mendorong pemerintah pusat untuk mengubah paying hokum pembentukan BRDA itu sendiri. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perubahan paying hokum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk memiliki hak untuk mengelola anggaran tersendiri. Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai stakeholder, termasuk lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian dan pembanginan Aceh.
Konflik dan integrasi menurut pandangan dari Teori Konflik Ralf Dahrendorf
A. Masyarakat memiliki potensi konflik dan disintegrasi
B. Wewenang dan posisi sebagai fakta sosial distribusi, wewenang dan posisi individu dalam masyarakat, konflik sosial kekuasaan dan wewenang.,perbedaan individu
C. Keteraturan dalam masyarakat terjadi karena adanya paksaan
D. Masyarakat dipaksa menerima perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya
E. Menurut teoritisi konflik (atau teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan” Dangan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain
F. Setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan
G. Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial
Analisis Konflik Aceh dengan Teori konflik
Masyarakat Indonesia yang multikultural dari sabang samapai merauke, dengan berbagai keanekaragamaan dari ras, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat. Dipersatukan dengan bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari konflik dan integrasi. Konflik ini terjadi di Aceh, adanya GAM yang terjadi di aceh. Menimbulkan banyak masalah yang berdampak pada masyarakat Aceh tetapi juga bagi negara. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah di Aceh telah di lakukan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk BRDA yang berperan dalam Disarmament, Demobilitation dan Reintegration. Tetapi usaha ini juga kurang berhasil. Dalam Menyelesaikan konflik harus ada kerjasama antara pemerintah pusat serta dan warga Aceh. Setiap masyarakat tidak menginginkan adanya konflik. Tetapi apa yang diharapkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Konflik tidak cepat selesai melainkan memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat Aceh sendiri. Semoga ini adalah konflik di Aceh yang terakhir dan tidak akan terjadi konflik-konflik berikutnya. Yang menimbulkan banyak korban.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Artikel sebaiknya diedit terlebih dahulu agar menarik seperti isi artikel
isi yang sangat menarik sekali....
kembangkan lagi kreatifitasmu yah teman...
semangat!!!
.haduchhh...
.puanjangg bwgtss tpii kreatifitasnaa M.A.N.T.A.P
isi artikel menarik mengenai teori konflik dan integrasi sehingga menambah pemahaman tentang hal-hal yang menyatukan msayarakat selain keseimbangan namun konflik juga bisa..
Posting Komentar